Selasa, Desember 01, 2009

cara dapat duit mudah lewat facebook

Cara dapat $ 100 gratis dari Facebook
Sekarang ini hampir setiap orang yang sering internetan pastinya punya facebook. Nah apakah kalian tau bahwa facebook sekarang ini bisa digunakan untuk mendapatkan $100 gratis. Program ini bernama paypalwhitelist yang diadakan oleh paypal melalui jejaring sosial facebook. Caranya masuk dulu ke account facebook kamu lalu daftar saja klik disini paypalwishlist kemudian anda akan langsung mendapatkan $1 langsung, nah anda tinggal mereferensikan 99 teman anda untuk daftar juga maka anda akan mendapatkan $99 tambahan maka uang yang anda dapatkan $100. maksimal uang yang anda dapatkan adalah $100, jadi jangan serakah ya, makanya kalo udah dapet $100 mending bantuin teman anda. oh ya, sebelum anda mengikuti program ini anda harus mempunyai paypal dulu, lihatlah cara mendaftar paypal untuk cara membuat paypal.

Untuk memperjelas, saya ulangi langkah-langkah biar lebih jelas:

1. pertama-tama login ke facebook anda, pasti udah pada punyakan?

2. kemudian anda masuk ke halaman promosi paypalwishlist dengan klik http://apps.facebook.com/paypalwishlist/?ppref=1054045294&ref=mf

3. kemudian masukkan alamat paypal anda, kalo bisa paypal yang sudah terverifikasi ya. jika belum punya paypal, daftar dulu di paypal kemudian verifikasi dengan kartu kredit atau dengan VCC untuk melakukan ferifikasi paypal
4. setelah anda daftar maka anda akan mendapatkan $1 langsung, nah setelah itu buat wishlist anda sendiri,dengan mencari tulisan Create New Wishlist. Lalu buat 5 buah barang pilihan anda, kemudian publish. kemudian anda dapat mengundang teman teman anda dengan klik invite friend yang ada di menu.

Nah anda akan di bayar selambat-lambatnya tanggal 28 februari 2010. Memang masih lama, tapi kalau udah dapet lumayankan? dapet 1 juta dari facebook. . oh ya kalau bisa pada bulan-bulan desember segera verifikasi paypal anda biar bisa mendapatkan pembayaran.

Dibawah ini ada informasi tambahan dari program wishlish paypal ini, saya dapat dari mas cosaaranda.

Berikut beberapa informasi yang diterjemahkan dari Terms & Condition mereka:

Persyaratan mengikuti program promosi:

Mendaftarkan diri ke program Paypal Wishlist dalam batas waktu promosi yang telah ditentukan, mulai tanggal 16 November 2009 hingga 31 Desember 2009.
Membuat akun Paypal baru atau telah memiliki akun Paypal, serta mendaftarkannya ke program Paypal Wishlist.
Berumur minimal 18 tahun dan alamat pada akun Paypal Anda terdaftar di India, Thailand, Malaysia, Korea, Vietnam, Philippines, Indonesia, atau Singapore.
Akun Paypal harus dalam Good Standing selama masa promosi program. Dalam arti tidak dalam keadaan di-hold atau di-suspend. Meskipun tidak tertulis secara eksplisit, ini berarti juga akun harus dalam keadaan terverifikasi.
Membuat daftar Paypal Wishlist dan mempromosikannya.
Karena program promosi Paypal Wishlist ini hanya berlaku pada 8 negara yang telah disebutkan di atas, siapa saja yang tidak memenuhi syarat lokasi negara akan otomatis tidak diperhitungkan dalam perolehan earning. Walau demikian, pengeleminasian penghasilan dari referral-referral yang tidak memenuhi syarat tersebut baru akan dilakukan di akhir periode. Sehingga ada kemungkinan uang yang Anda peroleh lebih kecil daripada yang tercantum di kotak “You’ve earned”.

Jumlah yang Anda peroleh sendiri akan diinformasikan via email Paypal yang Anda daftarkan selambat-lambatnya tanggal 28 Februari 2010. Demikian pula dengan uang Anda, akan dikreditkan pada rekening Paypal Anda selambat-lambatnya pada tanggal tersebut. Perlu diperhatikan bahwa Anda harus login ke Paypal Anda dalam waktu 30 hari terakhir sebelum batas waktu pengkreditan, atau jika tidak, earning Anda akan dibatalkan. Artinya, setidaknya lakukan login ke akun Paypal Anda satu kali saja selama bulan Februari tersebut.

Senin, Juni 22, 2009

dapat duit < get money easily>

http://www.AWSurveys.com/HomeMain.cfm?RefID=rian3487

follow the step:
- open the link
- go to create a free account (registration)
(we can save $1.25 in our account if u recruit 1 of ur friend)

Jumat, Januari 23, 2009

UU RI No.8 Thn.1999 Tentang Perlindungan Konsumen

UU RI No.8 Thn.1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Selasa, 13 April 2004 | 11:46 WIB

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN

DENGAN RRAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :


a. Bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;

b. bahwa pembangunan perekonomiian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang memiliki
kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas
barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa
mengakibatkan kerugian konsumen;

c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya dipasar;

d. bahwa untuk ,meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap usaha yang bertangguung jawab;

e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di
Indonesia belum memadai;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas diperlukan perangkat
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan
perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga
tercipta perekonomian yang sehat;

g. bahwa untuk itu perlu dibentukk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;


Mengingat :

Pasal5 Ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945;


Dengan Persetujuan

DEWAN PERWWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

B A B I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Undang – undang ini yang dimaksud dengan :

1. Perlindungan kmonsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha , baik yang berbentuk badan hokum maupun bukan badan hokum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayaah hokum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.

7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.

8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia .

9. Lembaga perlindungan konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.

10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen.

11. Badanpenyelesaian sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

12. Badan pelindungan konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.

13. Menteri adalah Menteri yang ruang blingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.


B A B II

ASAS DAN TUJUAN

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 2


Perlindungan konsumen bertujuan :

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meniingkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang daan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.


B A B III

HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen

Pasal 4


Hak Konsumen adalah :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan / atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasdi yang benar, jelas, dan jujur mengani kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlinndungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkannkompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 5

Kewajiban Konsumen adalah :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikurti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 6


Hak pelaku usaha adalah :

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jas yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 7

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Kewajiban pelaku usaha adalah :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi komppensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat pengguunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.


B A B IV

PERBUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA

Pasal 8


(1). Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto , dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label , etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
promosi penjualan barang danm/atau jasa tersebut;

g. tidak mencvantumkan tanggal kadaluawarsa atau jangka waktu penggunaan/-pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan ”halal” yang dicantumkandalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelsan barang yang memuat nama barang,ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, atauran pakai, tanggal pembuatan,akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketenttuan harus di pasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan infdormasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentguan perundang-undangan yang berlaku.

(2). Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3). Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan terrcemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4). Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Pasal 9

(1). Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :

a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

b. b. barang tersebut vdalam keadaan baik dan/atau baru;

c. c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,` ciri-ciri kerja atau aksesories tertentu;

d. d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

e. e. barang dann/atau jasa tersebut tersedia;

f. f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyyi;
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
g. g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

h. h. barangtersebut berasal dari daerah tertentu;

i. i. secara langsuung atau tidak langsuung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

j. j. mengguunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya,tidak menganduung risiko atau efek samping tanpa keterangan yang lenggkapp;

k. k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.

(3). Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, ppromosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 10

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak
benar atau menyesatkan mengenai :

a. harga atau tariff suatu barang dan/atau jasa;

b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa ;

c. kondisi, tanggungan, jamiinan, hak atau ganti rugi atas suatu barang da/atau jasa;

d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 11

Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan kosumen dengan :

a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;

b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;

c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
menjual barang lain;

d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;

e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yangg lain;

f. menaikkan harga atau barang dan/atau jasa sebelum melakujkan obral.

Pasal 12

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosiikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan hharga tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

Pasal 13

(1). Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan / atau jasa lain secara Cuma-Cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikan.

(2). Pelakun usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Pasal 14

Pelaku usha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :

a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;

b. menguumumkan hasilnya tidak melalui mmedia massa;

c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;

d. mengganti hadiah yyang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjiikan.

Pasal 15

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
konsumen.

Pasal 16

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk :

a. tidak menempati pesanan dan/untuk kesempatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

b. tidak menempati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Pasal 17

(1). Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :

a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan haga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;

b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;

c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;

e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;

f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

(2). Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).


B A B V

KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU

Pasal 18


(1). Pelaku usah dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :

a. menyetakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli kosumen;

c. menyatakanbahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. e. mengaur perihal pembktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. g. menyatkan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2). Pelaku usaha dlarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3). Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum.

(4). Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undangundang ini.


B A B VI

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Pasal 19


(1). Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2). Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3). Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7(tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4). Pemberian ganti rugo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5). Ketentuan sebagamana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 20

Pelaku usaha periklanan bertangung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 21

(1). Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diipor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwaklanprodusen luar negeri.

(2). Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 22

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembukian.

Pasal 23

Pelaku usaha yang menlak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat 4), dapat digugat melalui badan peyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedududkan konsumen.

Pasal 24

(1). Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsmen apabila :

a. pelaku usaha laian menjual kepada konsumen tanpa melakkan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;

b. b. pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan
contoh, mutu, dan komposisi.

(2). Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan
atas barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 25

(1). Pelaku usaha yang meproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1(satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :

a. tidak menyediakan fasilitas atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;

b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjkan.

Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :

a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

b. cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4(empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, pasal 22 dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.


B A B VII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Pertama
Pembinaan

Pasal 29

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN


(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

(2) Pembinaan oleh Pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Meneri dan/atau Menteri teknis terkait.

(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.

(4) Pembinaan penelenggaraan perlindngan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk :

a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;

b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

(5) ketantuan lebih lanjut mengenai pembnaan penyelenggaraan perlindngan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua

Pengawasan

Pasal 30


(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah,masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau Menteri teknis terkait.

(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
(4). Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

(5). Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan Menteri teknis.

(6). Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat(2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


B A B VIII

BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL

Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas.

Pasal 31


Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 32

Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 33

Badan Perlindungan Konsmen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.

Pasal 34

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN


(1). Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas :

a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;

b. b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;

c. c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;

d. d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

e. e. menyebarkan informasi melalui media mengenai perlindungan konsmen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;

f. f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat,lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;

g. g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

(2). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dmaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.


Bagian Kedua

Sususnan Orgaisasi dan Keanggotaan

Pasal 35


(1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (duapuluhlima) orang anggota yang mewakili semua unsur.

(2) Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(3) Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(4) Ketua dan Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.

Pasal 36

Anggota badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur :

a. pemerintah;

b. pelaku usaha;

c. lembaga perlindngan konsumen swadaya masyarakat;

d. akademisi; dan

e. tenaga ahli.

Pasal 37

Persyaratan keanggotaan Badan Pelindungan Konsumen Nasional adalah :

a. warga negara Republik Indonesia;

b. berbadan sehat;

c. berkelakuan baik;

d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;

e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan
konsumen; dan

f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tigapuluh) tahun.

Pasal 38

Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena :

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;

c. bertempat tinggal diluar wilayah negara Republik Indonesia;

d. sakit secara terus menerus;

e. berakhir masa jabatan sebagai anggota ; atau

f. diberhentikan.

Pasal 39

(1). Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dinatu oleh Sekretariat.

(2). Sekretariat sebagaimana dmaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Sekretaris yang
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

diangkat oleh Ketua badan Perlindungan Konsumen Nasional.

(3). Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 91) diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 40

(1). Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di Ibu Kota Daerah Tk.I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.

(2). Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 41

Dalam melaksanakan tugas, badan Perlindungan Konsmen nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 42

Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.


B A B IX

LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT

Pasal 44


(1). Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(2). Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.

(3). Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan :

a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

c. bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;

d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


B A B X

PENYELESAIAN SENGKETA

Bagian Pertama
U m u m

Pasal 45


(1) Setiap konsumen yang durugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

(2). Penyelesian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

(3). Penyelesiana sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghlangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-udang.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(4). Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil
oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Pasal 46

(1). Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :

a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;

b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepennganyang sama;

c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya;

d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atai dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

(2). Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.

(3). Ketenuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan./atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat 91) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Pasal 47

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN


Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentu dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk
menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.


Bagian Ketiga

Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Pasal 48


Penyelesian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.


B A B XI

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

Pasal 49


(1). Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.

(2). Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen,seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Warga negara Republik Indonesia;

b. berbadan sehat;

c. berkelakuan baik;

d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;

e. memiliki pengetahuan dan penagalaman di bidang perlindungan
konsumen;

f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh ) tahun.

(3). Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsmen, dan unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.

(4). Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 93) berjumlah sedit-dikitnya 3(tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5(lima) orang.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

(5). Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 50

Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas :

a. Ketua merangkap anggota;

b. wakil ketua merangkap anggota;

c. anggota.

Pasal 51

(1). Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.

(2). Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.

(3). Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa kosumen ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 52

Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi :

a. melaksanakan penanganan dan enelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. melakukan pengawasan terhadap terhadap pencantuman klausula baku;

d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undangundang ini;

e. menerima pengadaan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindngan konsmen;

h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

i. meminta bantuan penyidik ntuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi pangglan badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. mendapatkan, meneliti dan/atau menlai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 53

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan Menteri.

Pasal 54

(1) Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.

(2). Jumlah anggota Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjul dan sedikitdikitnya 3(tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.

(3) Putusan majelis bersifat final dan mengikat.

(4) Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan Menteri.

Pasal 55

Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.

Pasal 56

(1) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.

(2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14(empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.

(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 92) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.

(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.

(5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Pasal 57

Putusan mejelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) diminakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.

Pasal 58

(1) Pengadilan negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.

(2). Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

(3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh ) hari sejak menerima permohonan kasasi.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN


B A B XII

PENYIDIKAN

Pasal 59


(1) Selain Pejabat Polisi Negera Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 91) berwenang :

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

d. melakkan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

(3). Penyidik Pejabat Pegawai negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

B A B XIII

S A N K S I

Bagian Pertama Sanksi Administratif

Pasal 60


(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.

(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (I) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang- undangan.


Bagian Kedua Sanksi Pidana

Pasal 61


Penuntutan. pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.

Pasal 62

(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasa! 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :

a. perampasan barang tertentu;
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

b. pengumuman keputusan hakim;

c. pembayaran ganti fugi;

d. perintah penghenlian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;

e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau

f. pencabutan izin usaha.

B A B XIV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64


Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang- undang ini.


B A B XV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 65


Undang-undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar sstiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada langgal 20 April 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA



ttd

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 42
Salinan Sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peratyuran
Perundang-undangan I




ttd
Lambock V. Nahattands

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN



PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN


I. U M U M



Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas
yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara,
sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau
jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di alas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pacta posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen
adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan
modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak larigsung.Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara
integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhalian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas peianggarannya. Undang-undang tentang Per1indungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen ada]ah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan
Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awaI dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah
ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti :

a. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undangundang;

b. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;

c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;

d. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;

e. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;

f. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;

g. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;

h. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri;

i. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;

j Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);

k. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;

l. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;

m. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;

n. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang- undang Hak
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;

o. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;

p. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;

q. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

r. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;

s. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;

t. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-undang Nomof 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban
setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran clan perusakan lingkungan hidup. Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian,
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.



II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1

Cukup jelas

Angka 2

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir clan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir.

Angka 3

Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi,BUMN, koperasi, imporlir, pedagang, distributor dan lain- lain.

Angka 4

Cukup jelas

Angka 5

Cukup jelas

Angka 6

Cukup jelas

Angka 7

Cukup jelas

Angka 8

Cukup jelas

Angka 9

Lembaga ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Angka 10

Cukup jelas

Angka 11

Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah dan profesional.

Angka 12

Cukup jelas

Angka 13

Cukup jelas

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 2

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen clan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya,miskin dan status sosial lainnya.

Huruf h

Cukup jeJas

Huruf. i

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jclas

Pasal 7

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsurnen dalam rnemberikan
pelayanan. Pelaku usaha dilarang mernbeda-bedakan rnutu pelayanan kepada konsumen.

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Yang dirnaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Jangka waktu penggunaan/pemanfaatannya yang paling baik adalah
terjemahan dari kala best before yang biasa digunakan dalam label
produk makanan.

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Cukup jelas

Huruf j

Cukup jelas

Ayat (2)

Barang-barang yang dimaksud adalah barang-barang yang tidak
mernbahayakan konsumen dan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang ber!aku.

Ayat (3)

Sediaan farrnasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (4)
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/atau jasa dari peredaran.

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Yang dimaksud dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah jumlah yang memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen.

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasa1 21

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 22

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik.


Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cacat timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun Iisan.

Huruf c

Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan
standarisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak.

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Jangka waklu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi.

PasaI 28

Cukup Jelas

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Yang dimaksud dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.

Ayat (3)

Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei,Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang fisiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengikIanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan clan
kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan
sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism).

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1)

Jurnlah wakil setiap unsur tidak harus sarna.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 36

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Akademisi adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan anggota perguruan tinggi.

Huruf e

Tenaga ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang perlindungan konsumen
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Sakit secara terus menerus sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya.

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 40

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan
Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan
musyawarah anggota.

Pasal 41

Yang dimaksud dengan dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Ayat (I)

Yang dimaksud dengan memnuhi syarat, antara lain, terdaftar dn diakui serta bergerak di bidang perlindungan konsumen.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 45

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Penyelsaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa.Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

Ayat (3)

Cukup jelas ,

Ayat (4)

Cukup jelas

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 46

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action.
Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen
yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adaah adanya bukti transaksi.

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Tolok ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit yang dipakai adalah besar dampaknya terhadap konsumen.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 47

Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup je!as

Ayat (3)

Unsur konsumen adalah lembaga perlindungan konsumen swadaya
Masyarakat atau sekelompok konsumen.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Cukup jelas

Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Cukup jelas

Pasal 54

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dirnaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 57

Cukup jeIas

Pasal 58

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jeIas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 59

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 60

Ayat (1)

Cukup jelas

A yat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3821

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2007
TENTANG
PERSEROAN TERBATAS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional, perlu di dukung oleh kelembagaan
perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan
perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan
yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi
perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa
mendatang, perlu di dukung oleh suatu undang-undang yang
mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin
terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif;
c. bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan
perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk
lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu
diganti dengan undang-undang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
www.legalitas.org
www.legalitas.org

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERSEROAN TERBATAS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum
yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini
serta peraturan pelaksanaannya.
2. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan
Komisaris.
3. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk
berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan
sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
4. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ
Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau
Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini
dan/atau anggaran dasar.
5. Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun
di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
6. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar
serta memberi nasihat kepada Direksi.
7. Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan
penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang pasar modal.
8. Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang
saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang pasar modal.
9. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan
atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada
yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri
beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan
selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir
karena hukum.
10. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau
lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang
karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan
diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena
hukum.
11. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum
atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.
12. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk
memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan
beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva
dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau
lebih.
13. Surat Tercatat adalah surat yang dialamatkan kepada penerima dan dapat
dibuktikan dengan tanda terima dari penerima yang ditandatangani dengan
menyebutkan tanggal penerimaan.
14. Surat Kabar adalah surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar
secara nasional.
15. Hari adalah hari kalender.
16. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan
hak asasi manusia.
Pasal 2
Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,
dan/atau kesusilaan.
Pasal 3
(1) Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas
perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas
kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan
pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan,
yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk
melunasi utang Perseroan.
Pasal 4
Terhadap Perseroan berlaku Undang-Undang ini, anggaran dasar Perseroan, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
(1) Perseroan mempunyai nama dan tempat kedudukan dalam wilayah negara
Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar.
(2) Perseroan mempunyai alamat lengkap sesuai dengan tempat kedudukannya.
(3) Dalam surat-menyurat, pengumuman yang diterbitkan oleh Perseroan, barang
cetakan, dan akta dalam hal Perseroan menjadi pihak harus menyebutkan nama
dan alamat lengkap Perseroan.
Pasal 6
Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana
ditentukan dalam anggaran dasar.
BAB II
PENDIRIAN, ANGGARAN DASAR DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR,
DAFTAR PERSEROAN DAN PENGUMUMAN
Bagian Kesatu
Pendirian
Pasal 7
(1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang
dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan
didirikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka
Peleburan.
(4) Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya
Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.
(5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham
menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan
wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan
mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
(6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui,
pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham
bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian
Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri
dapat membubarkan Perseroan tersebut.
(7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat
(6) tidak berlaku bagi :
a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau
b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan,
lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal.
Pasal 8
(1) Akta pendirian memuat anggaran dasar dan keterangan lain berkaitan dengan
pendirian Perseroan.
(2) Keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurangkurangnya
:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan
kewarganegaraan pendiri perseorangan, atau nama, tempat kedudukan
dan alamat lengkap serta nomor dan tanggal Keputusan Menteri
mengenai pengesahan badan hukum dari pendiri Perseroan;
b. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal,
kewarganegaraan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama
kali diangkat;
c. nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian
jumlah saham, dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan
disetor.
(3) Dalam pembuatan akta pendirian, pendiri dapat diwakili oleh orang lain
berdasarkan surat kuasa.
Pasal 9
(1) Untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), pendiri bersamasama
mengajukan permohonan melalui jasa teknologi informasi sistem
administrasi badan hukum secara elektronik kepada Menteri dengan mengisi
format isian yang memuat sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan Perseroan;
b. jangka waktu berdirinya Perseroan;
c. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
d. jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e. alamat lengkap Perseroan.
(2) Pengisian format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didahului
dengan pengajuan nama Perseroan.
(3) Dalam hal pendiri tidak mengajukan sendiri permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), pendiri hanya dapat memberi kuasa kepada notaris.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan pemakaian nama
Perseroan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
(1) Permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) harus diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian ditandatangani, dilengkapi
keterangan mengenai dokumen pendukung.
(2) Ketentuan mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
(3) Apabila format isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan
keterangan mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Menteri
langsung menyatakan tidak berkeberatan atas permohonan yang bersangkutan
secara elektronik.
(4) Apabila format isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan
keterangan mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Menteri
langsung memberitahukan penolakan beserta alasannya kepada pemohon
secara elektronik.
(5) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pernyataan tidak berkeberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemohon
yang bersangkutan wajib menyampaikan secara fisik surat permohonan yang
dilampiri dokumen pendukung.
(6) Apabila semua persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dipenuhi
secara lengkap, paling lambat 14 (empat belas) hari, Menteri menerbitkan
keputusan tentang pengesahan badan hukum Perseroan yang ditandatangani
secara elektronik.
(7) Apabila persyaratan tentang jangka waktu dan kelengkapan dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi, Menteri
langsung memberitahukan hal tersebut kepada pemohon secara elektronik, dan
pernyataan tidak berkeberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi
gugur.
(8) Dalam hal pernyataan tidak berkeberatan gugur, pemohon sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dapat mengajukan kembali permohonan untuk
memperoleh Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
(9) Dalam hal permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri tidak diajukan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akta pendirian
menjadi batal sejak lewatnya jangka waktu tersebut dan Perseroan yang belum
memperoleh status badan hukum bubar karena hukum dan pemberesannya
dilakukan oleh pendiri.
(10) Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi
permohonan pengajuan kembali.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan permohonan untuk memperoleh Keputusan
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) bagi daerah tertentu yang belum
mempunyai atau tidak dapat digunakan jaringan elektronik diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 12
(1) Perbuatan hukum yang berkaitan dengan kepemilikan saham dan
penyetorannya yang dilakukan oleh calon pendiri sebelum Perseroan didirikan,
harus dicantumkan dalam akta pendirian.
(2) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan
dengan akta yang bukan akta otentik, akta tersebut dilekatkan pada akta
pendirian.
(3) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan
dengan akta otentik, nomor, tanggal dan nama serta tempat kedudukan notaris
yang membuat akta otentik tersebut disebutkan dalam akta pendirian Perseroan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) tidak dipenuhi, perbuatan hukum tersebut tidak menimbulkan hak dan
kewajiban serta tidak mengikat Perseroan.
Pasal 13
(1) Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan Perseroan
yang belum didirikan, mengikat Perseroan setelah Perseroan menjadi badan
hukum apabila RUPS pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima
atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan
hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau kuasanya.
(2) RUPS pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan
dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan
memperoleh status badan hukum.
(3) Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah apabila RUPS
dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili semua saham dengan hak suara
dan keputusan disetujui dengan suara bulat.
(4) Dalam hal RUPS tidak diselenggarakan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau RUPS tidak berhasil mengambil keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), setiap calon pendiri yang melakukan
perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat
yang timbul.
(5) Persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan
apabila perbuatan hukum tersebut dilakukan atau disetujui secara tertulis oleh
semua calon pendiri sebelum pendirian Perseroan.
Pasal 14
(1) Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan
hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama
semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka
semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum
tersebut.
(2) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh pendiri atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum,
perbuatan hukum tersebut menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan
dan tidak mengikat Perseroan.
(3) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), karena hukum menjadi
tanggung jawab Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum.
(4) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya mengikat dan
menjadi tanggung jawab Perseroan setelah perbuatan hukum tersebut disetujui
oleh semua pemegang saham dalam RUPS yang dihadiri oleh semua pemegang
saham Perseroan.
(5) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah RUPS pertama yang harus
diselenggarakan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan
memperoleh status badan hukum.
Bagian Kedua
Anggaran Dasar dan Perubahan Anggaran Dasar
Paragraf 1
Anggaran Dasar
Pasal 15
(1) Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat
sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan Perseroan;
b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
c. jangka waktu berdirinya Perseroan;
d. besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e. jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk
tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai
nominal setiap saham;
f. nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
g. penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS;
h. tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi
dan Dewan Komisaris;
i. tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.
(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) anggaran dasar dapat
juga memuat ketentuan lain yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
ini.
(3) Anggaran dasar tidak boleh memuat :
a. ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham; dan
b. ketentuan tentang pemberian manfaat pribadi kepada pendiri atau pihak
lain.
Pasal 16
(1) Perseroan tidak boleh memakai nama yang :
a. telah dipakai secara sah oleh Perseroan lain atau sama pada pokoknya
dengan nama Perseroan lain;
b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;
c. sama atau mirip dengan nama lembaga negara, lembaga pemerintah,
atau lembaga internasional, kecuali mendapat izin dari yang
bersangkutan;
d. tidak sesuai dengan maksud dan tujuan, serta kegiatan usaha, atau
menunjukkan maksud dan tujuan Perseroan saja tanpa nama diri;
e. terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang
tidak membentuk kata; atau
f. mempunyai arti sebagai Perseroan, badan hukum, atau persekutuan
perdata.
(2) Nama Perseroan harus didahului dengan frase “Perseroan Terbatas” atau
disingkat “PT”.
(3) Dalam hal Perseroan Terbuka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pada akhir nama Perseroan ditambah kata singkatan “Tbk”.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemakaian nama Perseroan diatur
dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 17
(1) Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam
wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar.
(2) Tempat kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekaligus merupakan
kantor pusat Perseroan.
Pasal 18
Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang
dicantumkan dalam anggaran dasar Perseroan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.
Paragraf 2
Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 19
(1) Perubahan anggaran dasar ditetapkan oleh RUPS.
(2) Acara mengenai perubahan anggaran dasar wajib dicantumkan dengan jelas
dalam panggilan RUPS.
Pasal 20
(1) Perubahan anggaran dasar Perseroan yang telah dinyatakan pailit tidak dapat
dilakukan, kecuali dengan pesetujuan kurator.
(2) Persetujuan kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan dalam
permohonan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar
kepada Menteri.
Pasal 21
(1) Perubahan anggaran dasar tertentu harus mendapat persetujuan Menteri.
(2) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan;
b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
c. jangka waktu berdirinya Perseroan;
d. besarnya modal dasar;
e. pengurangan modal ditempatkan dan disetor; dan/atau
f. status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau
sebaliknya.
(3) Perubahan anggaran dasar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) cukup
diberitahukan kepada Menteri.
(4) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia.
(5) Perubahan anggaran dasar yang tidak dimuat dalam akta berita acara rapat
yang dibuat notaris harus dinyatakan dalam akta notaris paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS.
(6) Perubahan anggaran dasar tidak boleh dinyatakan dalam akta notaris setelah
lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diajukan kepada Menteri, paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal akta notaris yang memuat perubahan anggaran dasar.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mutatis mutandis berlaku bagi
pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri.
(9) Setelah lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) permohonan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar
tidak dapat diajukan atau disampaikan kepada Menteri.
Pasal 22
(1) Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar mengenai perpanjangan
jangka waktu berdirinya Perseroan sebagaimana ditetapkan dalam anggaran
dasar harus diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari
sebelum jangka waktu berdirinya Perseroan berakhir.
(2) Menteri memberikan persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat pada tanggal terakhir
berdirinya Perseroan.
Pasal 23
(1) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
mulai berlaku sejak tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai
persetujuan perubahan anggaran dasar.
(2) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
mulai berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan
perubahan anggaran dasar oleh Menteri.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
dalam hal Undang-Undang ini menentukan lain.
Pasal 24
(1) Perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya telah memenuhi kriteria
sebagai Perseroan Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang pasar modal, wajib mengubah anggaran dasarnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf f dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak terpenuhi kriteria tersebut.
(2) Direksi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan
pernyataan pendaftaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang pasar modal.
Pasal 25
(1) Perubahan anggaran dasar mengenai status Perseroan yang tertutup menjadi
Perseroan Terbuka mulai berlaku sejak tanggal:
a. efektif pernyataan pendaftaran yang diajukan kepada lembaga pengawas
di bidang pasar modal bagi Perseroan Publik; atau
b. dilaksanakan penawaran umum, bagi Perseroan yang mengajukan
pernyataan pendaftaran kepada lembaga pengawas di bidang pasar
modal untuk melakukan penawaran umum saham sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(2) Dalam hal pernyataan pendaftaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a tidak menjadi efektif atau Perseroan yang telah mengajukan
pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
melaksanakan penawaran umum saham, Perseroan harus mengubah kembali
anggaran dasarnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal
persetujuan Menteri.
Pasal 26
Perubahan anggaran dasar yang dilakukan dalam rangka Penggabungan atau
Pengambilalihan berlaku sejak tanggal:
a. persetujuan Menteri;
b. kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan Menteri; atau
c. pemberitahuan perubahan anggaran dasar diterima Menteri, atau tanggal
kemudian yang ditetapkan dalam akta Penggabungan atau akta Pengambilalihan
.
Pasal 27
Permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) ditolak apabila:
a. bertentangan dengan ketentuan mengenai tata cara perubahan anggaran dasar;
b. isi perubahan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
ketertiban umum, dan/atau kesusilaan; atau
c. terdapat keberatan dari kreditor atas keputusan RUPS mengenai pengurangan
modal.
Pasal 28
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan untuk memperoleh Keputusan
Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan, dan keberatannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 mutatis mutandis
berlaku bagi pengajuan permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar dan
keberatannya.
Bagian Ketiga
Daftar Perseroan dan Pengumuman
Paragraf 1
Daftar Perseroan
Pasal 29
(1) Daftar Perseroan diselenggarakan oleh Menteri.
(2) Daftar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data tentang
Perseroan yang meliputi:
a. nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha,
jangka waktu pendirian, dan permodalan;
b. alamat lengkap Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
c. nomor dan tanggal akta pendirian dan Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum Perseroan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4);
d. nomor dan tanggal akta perubahan anggaran dasar dan persetujuan
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1);
e. nomor dan tanggal akta perubahan anggaran dasar dan tanggal
penerimaan pemberitahuan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2);
f. nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta pendirian dan
akta perubahan anggaran dasar;
g. nama lengkap dan alamat pemegang saham, anggota Direksi, dan
anggota Dewan Komisaris Perseroan;
h. nomor dan tanggal akta pembubaran atau nomor dan tanggal penetapan
pengadilan tentang pembubaran Perseroan yang telah diberitahukan
kepada Menteri;
i. berakhirnya status badan hukum Perseroan;
j. neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan bagi
Perseroan yang wajib diaudit.
(3) Data Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimasukkan dalam daftar
Perseroan pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal:
a. Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan,
persetujuan atas perubahan anggaran dasar yang memerlukan
persetujuan;
b. penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar yang tidak
memerlukan persetujuan;atau
c. penerimaan pemberitahuan perubahan data Perseroan yang bukan
merupakan perubahan anggaran dasar.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g mengenai nama
lengkap dan alamat pemegang saham Perseroan Terbuka sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(5) Daftar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbuka untuk umum.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai daftar Perseroan diatur dengan Peraturan
Menteri.
Paragraf 2
Pengumuman
Pasal 30
(1) Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia :
a. akta pendirian Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4);
b. akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta Keputusan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
c. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya
oleh Menteri.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri
dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
diterbitkannya Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b atau sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengumuman dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
MODAL DAN SAHAM
Bagian Kesatu
Modal
Pasal 31
(1) Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal mengatur modal
Perseroan terdiri atas saham tanpa nilai nominal.
Pasal 32
(1) Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan
jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal
dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Perubahan besarnya modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1) Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.
(2) Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.
(3) Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah
modal yang ditempatkan harus disetor penuh.
Pasal 34
(1) Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau
dalam bentuk lainnya.
(2) Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan
nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak
terafiliasi dengan Perseroan.
(3) Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan
dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan
penyetoran saham tersebut.
Pasal 35
(1) Pemegang saham dan kreditor lainnya yang mempunyai tagihan terhadap
Perseroan tidak dapat menggunakan hak tagihnya sebagai kompensasi
kewajiban penyetoran atas harga saham yang telah diambilnya, kecuali disetujui
oleh RUPS.
(2) Hak tagih terhadap Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat
dikompensasi dengan setoran saham adalah hak tagih atas tagihan terhadap
Perseroan yang timbul karena:
a. Perseroan telah menerima uang atau penyerahan benda berwujud atau
benda tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang;
b. pihak yang menjadi penanggung atau penjamin utang Perseroan telah
membayar lunas utang Perseroan sebesar yang ditanggung atau dijamin;
atau
c. Perseroan menjadi penanggung atau penjamin utang dari pihak ketiga
dan Perseroan telah menerima manfaat berupa uang atau barang yang
dapat dinilai dengan uang yang langsung atau tidak langsung secara
nyata telah diterima Perseroan.
(3) Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sah apabila dilakukan
sesuai dengan ketentuan mengenai panggilan rapat, kuorum, dan jumlah suara
untuk perubahan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
dan/atau anggaran dasar.
Pasal 36
(1) Perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun
dimiliki oleh Perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak
langsung telah dimiliki oleh Perseroan.
(2) Ketentuan larangan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku terhadap kepemilikan saham yang diperoleh berdasarkan peralihan
karena hukum, hibah, atau hibah wasiat .
(3) Saham yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah tanggal perolehan harus
dialihkan kepada pihak lain yang tidak di larang memiliki saham dalam
Perseroan.
(4) Dalam hal Perseroan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perusahaan efek, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal.
Bagian Kedua
Perlindungan Modal dan Kekayaan Perseroan
Pasal 37
(1) Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan dengan
ketentuan :
a. pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih
Perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan
ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan; dan
b. jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh Perseroan
dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh
Perseroan sendiri dan/atau Perseroan lain yang sahamnya secara
langsung atau tidak langsung dimiliki oleh Perseroan, tidak melebihi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dalam Perseroan,
kecuali diatur lain dalam peraturan perundang undangan di bidang pasar
modal.
(2) Pembelian kembali saham, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
bertentangan dengan ayat (1) batal karena hukum.
(3) Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali
yang batal karena hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Saham yang dibeli kembali Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya boleh dikuasai Perseroan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 38
(1) Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
atau pengalihannya lebih lanjut hanya boleh dilakukan berdasarkan
persetujuan RUPS, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundangundangan
di bidang pasar modal.
(2) Keputusan RUPS yang memuat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai panggilan rapat,
kuorum, dan persetujuan jumlah suara untuk perubahan anggaran dasar
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
Pasal 39
(1) RUPS dapat menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna
menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap kali dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
(3) Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sewaktu-waktu
dapat ditarik kembali oleh RUPS.
Pasal 40
(1) Saham yang dikuasai Perseroan karena pembelian kembali, peralihan karena
hukum, hibah atau hibah wasiat, tidak dapat digunakan untuk mengeluarkan
suara dalam RUPS dan tidak diperhitungkan dalam menentukan jumlah kuorum
yang harus dicapai sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau
anggaran dasar.
(2) Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhak mendapat pembagian
dividen.
Bagian Ketiga
Penambahan Modal
Pasal 41
(1) Penambahan modal Perseroan dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS.
(2) RUPS dapat menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna
menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk jangka waktu paling lama1 (satu) tahun.
(3) Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sewaktu-waktu
dapat ditarik kembali oleh RUPS.
Pasal 42
(1) Keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar adalah sah apabila dilakukan
dengan memperhatikan persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju untuk
perubahan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini
dan/atau anggaran dasar.
(2) Keputusan RUPS untuk penambahan modal ditempatkan dan disetor dalam
batas modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan kuorum kehadiran lebih
dari ½ (satu perdua) bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara dan
disetujui oleh lebih dari ½ (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh suara yang
dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar dalam anggaran dasar .
(3) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan
kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan.
Pasal 43
(1) Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih
dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan
saham untuk klasifikasi saham yang sama.
(2) Dalam hal saham yang akan dikeluarkan untuk penambahan modal merupakan
saham yang klasifikasinya belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli
terlebih dahulu adalah seluruh pemegang saham sesuai dengan perimbangan
jumlah saham yang dimilikinya.
(3) Penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
pengeluaran saham:
a. ditujukan kepada karyawan Perseroan;
b. ditujukan kepada pemegang obligasi atau efek lain yang dapat
dikonversikan menjadi saham, yang telah dikeluarkan dengan
persetujuan RUPS; atau
c. dilakukan dalam rangka reorganisasi dan/atau restrukturisasi yang telah
disetujui oleh RUPS.
(4) Dalam hal pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menggunakan hak untuk membeli dan membayar lunas saham yang dibeli dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penawaran,
Perseroan dapat menawarkan sisa saham yang tidak diambil bagian tersebut
kepada pihak ketiga.
Bagian Keempat
Pengurangan Modal
Pasal 44
(1) Keputusan RUPS untuk pengurangan modal Perseroan adalah sah apabila
dilakukan dengan memperhatikan persyaratan ketentuan kuorum dan jumlah
suara setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai ketentuan dalam Undang-
Undang ini dan / atau anggaran dasar.
(2) Direksi wajib memberitahukan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada semua kreditor dengan mengumumkan dalam 1 (satu) atau lebih Surat
Kabar dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
keputusan RUPS.
Pasal 45
(1) Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), kreditor dapat mengajukan
keberatan secara tertulis disertai alasannya kepada Perseroan atas keputusan
pengurangan modal dengan tembusan kepada Menteri.
(2) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima, Perseroan wajib memberikan jawaban secara
tertulis atas keberatan yang diajukan.
(3) Dalam hal Perseroan:
a. menolak keberatan atau tidak memberikan penyelesaian yang disepakati
kreditor dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
jawaban Perseroan diterima; atau
b. tidak memberikan tanggapan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak tanggal keberatan diajukan kepada Perseroan,
kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
Pasal 46
(1) Pengurangan modal Perseroan merupakan perubahan anggaran dasar yang
harus mendapat persetujuan Menteri.-
(2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila:
a. tidak terdapat keberatan tertulis dari kreditor dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1);
b. telah dicapai penyelesaian atas keberatan yang diajukan kreditor; atau
c. gugatan kreditor ditolak oleh pengadilan berdasarkan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 47
(1) Keputusan RUPS tentang pengurangan modal ditempatkan dan disetor
dilakukan dengan cara penarikan kembali saham atau penurunan nilai nominal
saham.
(2) Penarikan kembali saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap saham yang telah dibeli kembali oleh Perseroan atau terhadap saham
dengan klasifikasi yang dapat ditarik kembali.
(3) Penurunan nilai nominal saham tanpa pembayaran kembali harus dilakukan
secara seimbang terhadap seluruh saham dari setiap klasifikasi saham.
(4) Keseimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dengan
persetujuan semua pemegang saham yang nilai nominal sahamnya dikurangi.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, keputusan RUPS
tentang pengurangan modal hanya boleh diambil setelah mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari semua pemegang saham dari setiap klasifikasi saham yang
haknya dirugikan oleh keputusan RUPS tentang pengurangan modal tersebut.
Bagian Kelima
Saham
Pasal 48
(1) Saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya.
(2) Persyaratan kepemilikan saham dapat ditetapkan dalam anggaran dasar dengan
memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal persyaratan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
telah ditetapkan dan tidak dipenuhi, pihak yang memperoleh kepemilikan saham
tersebut tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan saham
tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum yang harus dicapai sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
Pasal 49
(1) Nilai saham harus dicantumkan dalam mata uang rupiah.
(2) Saham tanpa nilai nominal tidak dapat dikeluarkan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan
diaturnya pengeluaran saham tanpa nilai nominal dalam peraturan perundangundangan
di bidang pasar modal.
Pasal 50
(1) Direksi Perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar pemegang saham,
yang memuat sekurang-kurangnya:
a. nama dan alamat pemegang saham;
b. jumlah, nomor, tanggal perolehan saham yang dimiliki pemegang
saham, dan klasifikasinya dalam hal dikeluarkan lebih dari satu klasifikasi
saham;
c. jumlah yang disetor atas setiap saham;
d. nama dan alamat dari orang perseorangan atau badan hukum yang
mempunyai hak gadai atas saham atau sebagai penerima jaminan fidusia
saham dan tanggal perolehan hak gadai atau tanggal pendaftaran
jaminan fidusia tersebut;
e. keterangan penyetoran saham dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (2).
(2) Selain daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi
Perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar khusus yang memuat
keterangan mengenai saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris beserta
keluarganya dalam Perseroan dan/atau pada Perseroan lain serta tanggal
saham itu diperoleh.
(3) Dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dicatat juga setiap perubahan kepemilikan saham.
(4) Daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) disediakan di tempat kedudukan Perseroan agar dapat dilihat
oleh para pemegang saham.
(5) Dalam hal peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak mengatur
lain, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4)
berlaku juga bagi Perseroan Terbuka.
Pasal 51
Pemegang saham diberi bukti pemilikan saham untuk saham yang dimilikinya.
Pasal 52
(1) Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk:
a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
b. menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi;
c. menjalankan hak lainnya berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku setelah saham dicatat
dalam daftar pemegang saham atas nama pemiliknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c tidak
berlaku bagi klasifikasi saham tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
Undang ini.
(4) Setiap saham memberikan kepada pemiliknya hak yang tidak dapat dibagi.
(5) Dalam hal 1 (satu) saham dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) orang, hak yang timbul
dari saham tersebut digunakan dengan cara menunjuk 1 (satu) orang sebagai
wakil bersama.
Pasal 53
(1) Anggaran dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi saham atau lebih.
(2) Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada pemegangnya
hak yang sama.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, anggaran dasar
menetapkan salah satu di antaranya sebagai saham biasa.
(4) Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain:
a. saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;
b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris;
c. saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar
dengan klasifikasi saham lain;
d. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas
pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif;
e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa
kekayaan Perseroan dalam likuidasi.
Pasal 54
(1) Anggaran dasar dapat menentukan pecahan nilai nominal saham.
(2) Pemegang pecahan nilai nominal saham tidak diberikan hak suara
perseorangan, kecuali pemegang pecahan nilai nominal saham, baik sendiri atau
bersama pemegang pecahan nilai nominal saham lainnya yang klasifikasi
sahamnya sama memiliki nilai nominal sebesar 1 (satu) nominal saham dari
klasifikasi tersebut.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) dan ayat (5) mutatis
mutandis berlaku bagi pemegang pecahan nilai nominal saham.
Pasal 55
Dalam anggaran dasar Perseroan ditentukan cara pemindahan hak atas saham sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 56
(1) Pemindahan hak atas saham dilakukan dengan akta pemindahan hak.
(2) Akta pemindahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau salinannya
disampaikan secara tertulis kepada Perseroan.
(3) Direksi wajib mencatat pemindahan hak atas saham, tanggal, dan hari
pemindahan hak tersebut dalam daftar pemegang saham atau daftar khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dan
memberitahukan perubahan susunan pemegang saham kepada Menteri untuk
dicatat dalam daftar Perseroan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal pencatatan pemindahan hak.
(4) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum
dilakukan, Menteri menolak permohonan persetujuan atau pemberitahuan yang
dilaksanakan berdasarkan susunan dan nama pemegang saham yang belum
diberitahukan tersebut.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemindahan hak atas saham yang
diperdagangkan di pasar modal diatur dalam peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
Pasal 57
(1) Dalam anggaran dasar dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas
saham, yaitu:
a. keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham
dengan klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya;
b. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ
Perseroan; dan /atau
c. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
pemindahan hak atas saham disebabkan peralihan hak karena hukum, kecuali
keharusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berkenaan dengan
kewarisan.
Pasal 58
(1) Dalam hal anggaran dasar mengharuskan pemegang saham penjual
menawarkan terlebih dahulu sahamnya kepada pemegang saham klasifikasi
tertentu atau pemegang saham lain, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari)
terhitung sejak tanggal penawaran dilakukan ternyata pemegang saham tersebut
tidak membeli, pemegang saham penjual dapat menawarkan dan menjual
sahamnya kepada pihak ketiga.
(2) Setiap pemegang saham penjual yang diharuskan menawarkan sahamnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak menarik kembali penawaran
tersebut, setelah lewatnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Kewajiban menawarkan kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau
pemegang saham lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku 1
(satu) kali.
Pasal 59
(1) Pemberian persetujuan pemindahan hak atas saham yang memerlukan
persetujuan Organ Perseroan atau penolakannya harus diberikan secara tertulis
dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal
Organ Perseroan menerima permintaan persetujuan pemindahan hak tersebut.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan
Organ Perseroan tidak memberikan pernyataan tertulis, Organ Perseroan
dianggap menyetujui pemindahan hak atas saham tersebut.
(3) Dalam hal pemindahan hak atas saham disetujui oleh Organ Perseroan,
pemindahan hak harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 dan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan.
Pasal 60
(1) Saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 kepada pemiliknya.
(2) Saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidak
ditentukan lain dalam anggaran dasar.
(3) Gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang telah didaftarkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dicatat dalam daftar
pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
(4) Hak suara atas saham yang diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia tetap
berada pada pemegang saham.
Pasal 61
(1) Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke
pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap
tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi,
dan/atau Dewan Komisaris.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
Pasal 62
(1) Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya
dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui
tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa:
a. perubahan anggaran dasar;
b. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai
lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau
c. Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.
(2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, Perseroan wajib
mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.
BAB IV
RENCANA KERJA, LAPORAN TAHUNAN, DAN
PENGGUNAAN LABA
Bagian Kesatu
Rencana Kerja
Pasal 63
(1) Direksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun buku yang
akan datang.
(2) Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga anggaran
tahunan Perseroan untuk tahun buku yang akan datang.
Pasal 64
(1) Rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 disampaikan kepada
Dewan Komisaris atau RUPS sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.
(2) Anggaran dasar dapat menentukan rencana kerja yang disampaikan oleh Direksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Dewan
Komisaris atau RUPS, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundangundangan.
(3) Dalam hal anggaran dasar menentukan rencana kerja harus mendapat
persetujuan RUPS, rencana kerja tersebut terlebih dahulu harus ditelaah Dewan
Komisaris.
Pasal 65
(1) Dalam hal Direksi tidak menyampaikan rencana kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64, rencana kerja tahun yang lampau diberlakukan.
(2) Rencana kerja tahun yang lampau berlaku juga bagi Perseroan yang rencana
kerjanya belum memperoleh persetujuan sebagaimana ditentukan dalam
anggaran dasar atau peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Laporan Tahunan
Pasal 66
(1) Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh
Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah
tahun buku Perseroan berakhir.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat sekurangkurangnya:
a. laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir
tahun buku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku
sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan,
laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas
laporan keuangan tersebut;
b. laporan mengenai kegiatan Perseroan;
c. laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan;
d. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi
kegiatan usaha Perseroan;
e. laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh
Dewan Komisaris selama tahun buku yang baru lampau;
f. nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris;
g. gaji dan tunjangan bagi anggota Direksi dan gaji atau honorarium dan
tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris Perseroan untuk tahun yang
baru lampau.
(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disusun
berdasarkan standar akuntansi keuangan.
(4) Neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi Perseroan yang wajib diaudit, harus
disampaikan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 67
(1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1)
ditandatangani oleh semua anggota Direksi dan semua anggota Dewan
Komisaris yang menjabat pada tahun buku yang bersangkutan dan disediakan di
kantor Perseroan sejak tanggal panggilan RUPS untuk dapat diperiksa oleh
pemegang saham.
(2) Dalam hal terdapat anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang tidak
menandatangani laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang
bersangkutan harus menyebutkan alasannya secara tertulis, atau alasan
tersebut dinyatakan oleh Direksi dalam surat tersendiri yang dilekatkan dalam
laporan tahunan.
(3) Dalam hal terdapat anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang tidak
menandatangani laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
tidak memberi alasan secara tertulis, yang bersangkutan dianggap telah
menyetujui isi laporan tahunan.
Pasal 68
(1) Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan publik
untuk diaudit apabila:
a. kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/ atau mengelola
dana masyarakat;
b. Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat;
c. Perseroan merupakan Perseroan Terbuka;
d. Perseroan merupakan persero;
e. Perseroan mempunyai aset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan
jumlah nilai paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah); atau
f. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi,
laporan keuangan tidak disahkan oleh RUPS.
(3) Laporan atas hasil audit akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis kepada RUPS melalui Direksi.
(4) Neraca dan laporan laba rugi dari laporan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c setelah mendapat pengesahan RUPS
diumumkan dalam 1 (satu) Surat Kabar.
(5) Pengumuman neraca dan laporan laba rugi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah mendapat pengesahan RUPS.
(6) Pengurangan besarnya jumlah nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 69
(1) Persetujuan laporan tahunan termasuk pengesahan laporan keuangan serta
laporan tugas pengawasan Dewan Komisaris dilakukan oleh RUPS.
(2) Keputusan atas pengesahan laporan keuangan dan persetujuan laporan tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
(3) Dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau
menyesatkan, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris secara tanggung
renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan.
(4) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dibebaskan dari tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila terbukti bahwa keadaan tersebut
bukan karena kesalahannya.
Bagian Ketiga
Penggunaan Laba
Pasal 70
(1) Perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku
untuk cadangan.
(2) Kewajiban penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif.
(3) Penyisihan laba bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai
cadangan mencapai paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah modal
yang ditempatkan dan disetor.
(4) Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum mencapai jumlah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya boleh dipergunakan untuk menutup
kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain.
Pasal 71
(1) Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) diputuskan oleh RUPS.
(2) Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dibagikan kepada pemegang saham sebagai
dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS.
(3) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan apabila
Perseroan mempunyai saldo laba yang positif.
Pasal 72
(1) Perseroan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku Perseroan
berakhir sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
(2) Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan apabila jumlah kekayaan bersih Perseroan tidak menjadi lebih kecil
daripada jumlah modal ditempatkan dan disetor ditambah cadangan wajib.
(3) Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
mengganggu atau menyebabkan Perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya
pada kreditor atau mengganggu kegiatan Perseroan.
(4) Pembagian dividen interim ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi setelah
memperoleh persetujuan Dewan Komisaris, dengan memperhatikan ketentuan
pada ayat (2) dan ayat (3).
(5) Dalam hal setelah tahun buku berakhir ternyata Perseroan menderita kerugian,
dividen interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham
kepada Perseroan.
(6) Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas
kerugian Perseroan, dalam hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan
dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 73
(1) Dividen yang tidak diambil setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal yang
ditetapkan untuk pembayaran dividen lampau, dimasukkan ke dalam cadangan
khusus.
(2) RUPS mengatur tata cara pengambilan dividen yang telah dimasukkan ke dalam
cadangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan tidak diambil dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun akan
menjadi hak Perseroan.
BAB V
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN
Pasal 74
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
Pasal 75
(1) RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan
Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau
anggaran dasar.
(2) Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang
berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang
berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan
kepentingan Perseroan .
(3) RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan, kecuali
semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui
penambahan mata acara rapat.
(4) Keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan harus disetujui dengan
suara bulat.
Pasal 76
(1) RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan
melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam
anggaran dasar.
(2) RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan bursa di mana
saham Perseroan dicatatkan.
(3) Tempat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terletak
di wilayah negara Republik Indonesia.
(4) Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua
pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu,
RUPS dapat diadakan di manapun dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengambil keputusan jika
keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat.
Pasal 77
(1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS
dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana
media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling
melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
(2) Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah
persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau
sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan
keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta
RUPS.
Pasal 78
(1) RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya.
(2) RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan
setelah tahun buku berakhir.
(3) Dalam RUPS tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2).
(4) RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk
kepentingan Perseroan .
Pasal 79
(1) Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
78 ayat (2) dan RUPS lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (4)
dengan didahului pemanggilan RUPS.
(2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
atas permintaan:
a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili
1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil;
atau
b. Dewan Komisaris.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Direksi
dengan Surat Tercatat disertai alasannya.
(4) Surat Tercatat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang disampaikan oleh
pemegang saham tembusannya disampaikan kepada Dewan Komisaris.
(5) Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat
15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS
diterima.
(6) Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (5),
a. permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a diajukan kembali kepada Dewan Komisaris; atau
b. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b.
(7) Dewan Komisaris wajib melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) huruf a dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari
terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.
(8) RUPS yang diselenggarakan Direksi berdasarkan panggilan RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan mata acara rapat lainnya yang
dipandang perlu oleh Direksi.
(9) RUPS yang diselenggarakan Dewan Komisaris berdasarkan panggilan RUPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dan ayat (7) hanya membicarakan
masalah yang berkaitan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(10) Penyelenggaraan RUPS Perseroan Terbuka tunduk pada ketentuan Undang-
Undang ini sepanjang ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal tidak menentukan lain.
Pasal 80
(1) Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat
(7), pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat
mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian
izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.
(2) Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon, Direksi
dan/atau Dewan Komisaris, menetapkan pemberian izin untuk
menyelenggarakan RUPS apabila pemohon secara sumir telah membuktikan
bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang
wajar untuk diselenggarakannya RUPS.
(3) Penetapan ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memuat juga ketentuan mengenai:
a. bentuk RUPS, mata acara RUPS sesuai dengan permohonan pemegang
saham, jangka waktu pemanggilan RUPS, kuorum kehadiran, dan/ atau
ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS, serta
penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan
Undang-Undang ini atau anggaran dasar; dan/atau
b. perintah yang mewajibkan Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk hadir
dalam RUPS.
(4) Ketua pengadilan negeri menolak permohonan dalam hal pemohon tidak dapat
membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon
mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.
(5) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh membicarakan mata
acara rapat sebagaimana ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri.
(6) Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai pemberian izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
(7) Dalam hal penetapan ketua pengadilan negeri menolak permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), upaya hukum yang dapat diajukan hanya
kasasi.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi Perseroan
Terbuka dengan memperhatikan persyaratan pengumuman akan diadakannya
RUPS dan persyaratan lainnya untuk penyelenggaraan RUPS sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pasal 81
(1) Direksi melakukan pemanggilan kepada pemegang saham sebelum
menyelenggarakan RUPS.
(2) Dalam hal tertentu, pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan oleh Dewan Komisaris atau pemegang saham berdasarkan
penetapan ketua pengadilan negeri.
Pasal 82
(1) Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan
tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS.
(2) Pemanggilan RUPS dilakukan dengan Surat Tercatat dan/atau dengan iklan
dalam Surat Kabar.
(3) Dalam panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara
rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS
tersedia di kantor Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai
dengan tanggal RUPS diadakan.
(4) Perseroan wajib memberikan salinan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) kepada pemegang saham secara cuma-cuma jika diminta.
(5) Dalam hal pemanggilan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), dan panggilan tidak sesuai dengan ketentuan ayat
(3), keputusan RUPS tetap sah jika semua pemegang saham dengan hak suara
hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan tersebut disetujui dengan suara
bulat.
Pasal 83
(1) Bagi Perseroan Terbuka, sebelum pemanggilan RUPS dilakukan wajib didahului
dengan pengumuman mengenai akan diadakan pemanggilan RUPS dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS.
Pasal 84
(1) Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran
dasar menentukan lain.
(2) Hak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. saham Perseroan yang dikuasai sendiri oleh Perseroan;
b. saham induk Perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara
langsung atau tidak langsung; atau
c. saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan lain yang sahamnya
secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan.
Pasal 85
(1) Pemegang saham, baik sendiri maupun diwakili berdasarkan surat kuasa berhak
menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya sesuai dengan jumlah
saham yang dimilikinya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pemegang
saham dari saham tanpa hak suara.
(3) Dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan oleh pemegang saham
berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya dan pemegang saham tidak
berhak memberikan kuasa kepada lebih dari seorang kuasa untuk sebagian dari
jumlah saham yang dimilikinya dengan suara yang berbeda.
(4) Dalam pemungutan suara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan
karyawan Perseroan yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari
pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal pemegang saham hadir sendiri dalam RUPS, surat kuasa yang telah
diberikan tidak berlaku untuk rapat tersebut.
(6) Ketua rapat berhak menentukan siapa yang berhak hadir dalam RUPS dengan
memperhatikan ketentuan Undang-Undang ini dan anggaran dasar Perseroan.
(7) Terhadap Perseroan Terbuka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (6) berlaku juga ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang pasar modal.
Pasal 86
(1) RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian
dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali
Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang
lebih besar.
(2) Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, dapat
diadakan pemanggilan RUPS kedua.
(3) Dalam pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS pertama telah
dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum.
(4) RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil
keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar
menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.
(5) Dalam hal kuorum RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak
tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan atas permohonan
Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga.
(6) Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah
dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan
dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan
negeri.
(7) Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
(8) Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan.
(9) RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10
(sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang
mendahuluinya dilangsungkan.
Pasal 87
(1) Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih
dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali
Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah
sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar.
Pasal 88
(1) RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat
paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui
paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan,
kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan
tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
(2) Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, dapat diselenggarakan RUPS kedua.
(3) RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil
keputusan jika dalam rapat paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan
keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari
jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum
kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih
besar.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5), ayat (6), ayat (7),
ayat (8), dan ayat (9) mutatis mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
mengenai kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan
keputusan RUPS berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur
lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pasal 89
(1) RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit,
perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat
dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan
keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari
jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum
kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan
RUPS yang lebih besar.
(2) Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, dapat diadakan RUPS kedua.
(3) RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil
keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan
keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian
dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum
kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan
RUPS yang lebih besar.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5), ayat (6), ayat (7),
ayat (8), dan ayat (9) mutatis mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
mengenai kuorum kehadiran dan/ atau ketentuan tentang persyaratan
pengambilan keputusan RUPS berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang
tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pasal 90
(1) Setiap penyelenggaraan RUPS, risalah RUPS wajib dibuat dan ditandatangani
oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk
dari dan oleh peserta RUPS.
(2) Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disyaratkan apabila
risalah RUPS tersebut dibuat dengan akta notaris.
Pasal 91
Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS
dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis
dengan menandatangani usul yang bersangkutan.
BAB VII
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Bagian Kesatu
Direksi
Pasal 92
(1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan
dalam Undang-Undang ini dan/ atau anggaran dasar.
(3) Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih.
(4) Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau
mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan
utang kepada masyarakat, atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling
sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
(5 ) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian
tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan
berdasarkan keputusan RUPS.
(6) Dalam hal RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak menetapkan,
pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi ditetapkan berdasarkan
keputusan Direksi.
Pasal 93
(1) Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang
cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum
pengangkatannya pernah:
a. dinyatakan pailit;
b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit;
atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan
negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.
(2) Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi
kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan
tambahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan.
Pasal 94
(1) Anggota Direksi diangkat oleh RUPS.
(2) Untuk pertama kali pengangkatan anggota Direksi dilakukan oleh pendiri dalam
akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b .
(3) Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat
kembali.
(4) Anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan
pemberhentian anggota Direksi dan dapat juga mengatur tentang tata cara
pencalonan anggota Direksi.
(5) Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian
anggota Direksi juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan,
penggantian, dan pemberhentian tersebut.
(6) Dalam hal RUPS tidak menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan,
penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi, pengangkatan, penggantian,
dan pemberhentian anggota Direksi tersebut mulai berlaku sejak ditutupnya
RUPS.
(7) Dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota
Direksi, Direksi wajib memberitahukan perubahan anggota Direksi kepada
Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS tersebut.
(8) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum
dilakukan, Menteri menolak setiap permohonan yang diajukan atau
pemberitahuan yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi yang belum
tercatat dalam daftar Perseroan.
(9) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk
pemberitahuan yang disampaikan oleh Direksi baru atas pengangkatan dirinya
sendiri.
Pasal 95
(1) Pengangkatan anggota Direksi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 93 batal karena hukum sejak saat anggota Direksi lainnya
atau Dewan Komisaris mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut.
(2) Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui,
anggota Direksi lainnya atau Dewan Komisaris harus mengumumkan batalnya
pengangkatan anggota Direksi yang bersangkutan dalam Surat Kabar dan
memberitahukannya kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan.
(3) Perbuatan hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh
anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum
pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab
Perseroan.
(4) Perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh anggota
Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah pengangkatannya batal,
adalah tidak sah dan menjadi tanggung jawab pribadi anggota Direksi yang
bersangkutan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mengurangi tanggung
jawab anggota Direksi yang bersangkutan terhadap kerugian Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 dan Pasal 104.
Pasal 96
(1) Ketentuan tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi ditetapkan
berdasarkan keputusan RUPS.
(2) Kewenangan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilimpahkan
kepada Dewan Komisaris.
(3) Dalam hal kewenangan RUPS dilimpahkan kepada Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), besarnya gaji dan tunjangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan keputusan rapat
Dewan Komisaris.
Pasal 97
(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 92 ayat (1).
(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap
anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
(3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian
Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi
setiap anggota Direksi.
(5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
(6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu
persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat
mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang
karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota
Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas
nama Perseroan.
Pasal 98
(1) Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
(2) Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang
mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam
anggaran dasar.
(3) Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini, anggaran dasar, atau keputusan RUPS.
(4) Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar
Perseroan.
Pasal 99
(1) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila:
a. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi
yang bersangkutan; atau
b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan
dengan Perseroan.
(2) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhak
mewakili Perseroan adalah:
a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan
dengan Perseroan;
b. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai
benturan kepentingan dengan Perseroan; atau
c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi
atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan
Perseroan.
Pasal 100
(1) Direksi Wajib:
a. membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, dan
risalah rapat Direksi;
b. membuat laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dan
dokumen keuangan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Dokumen Perusahaan; dan
c. memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan Perseroan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dan dokumen
Perseroan lainnya.
(2) Seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan Perseroan, dan dokumen Perseroan
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di tempat kedudukan
Perseroan.
(3) Atas permohonan tertulis dari pemegang saham, Direksi memberi izin kepada
pemegang saham untuk memeriksa daftar pemegang saham, daftar khusus,
risalah RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan tahunan, serta
mendapatkan salinan risalah RUPS dan salinan laporan tahunan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menutup kemungkinan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal menentukan lain.
Pasal 101
(1) Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang
dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam
Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.
(2) Anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung jawab
secara pribadi atas kerugian Perseroan tersebut.
Pasal 102
(1) Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk:
a. mengalihkan kekayaan Perseroan; atau
b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan;
yang merupakan lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih
Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama
lain maupun tidak.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah transaksi
pengalihan kekayaan bersih Perseroan yang terjadi dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun buku atau jangka waktu yang lebih lama sebagaimana diatur dalam
anggaran dasar Perseroan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku terhadap
tindakan pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang dilakukan oleh
Direksi sebagai pelaksanaan kegiatan usaha Perseroan sesuai dengan
anggaran dasarnya.
(4) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa persetujuan
RUPS, tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum
tersebut beritikad baik.
(5) Ketentuan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan
keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 mutatis mutandis
berlaku bagi keputusan RUPS untuk menyetujui tindakan Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 103
Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau
lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan
hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.
Pasal 104
(1) Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri
kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan
tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(2) Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak
terlunasi dari harta pailit tersebut.
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi
anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota
Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan.
(4) Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan:
a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh
tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berlaku
juga bagi Direksi dari Perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan
pihak ketiga.
Pasal 105
(1) Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan
RUPS dengan menyebutkan alasannya.
(2) Keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela
diri dalam RUPS.
(3) Dalam hal keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan keputusan di luar RUPS sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91, anggota Direksi yang
bersangkutan diberi tahu terlebih dahulu tentang rencana pemberhentian dan
diberikan kesempatan untuk membela diri sebelum diambil keputusan
pemberhentian.
(4) Pemberian kesempatan untuk membela diri sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak diperlukan dalam hal yang bersangkutan tidak berkeberatan atas
pemberhentian tersebut.
(5) Pemberhentian anggota Direksi berlaku sejak:
a. ditutupnya RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tanggal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
c. tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); atau
d. tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 106
(1) Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris
dengan menyebutkan alasannya.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan
secara tertulis kepada anggota Direksi yang bersangkutan.
(3) Anggota Direksi yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berwenang melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1).
(4) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
pemberhentian sementara harus diselenggarakan RUPS.
(5) Dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) anggota Direksi yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
(6) RUPS mencabut atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara
tersebut.
(7) Dalam hal RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara, anggota
Direksi yang bersangkutan diberhentikan untuk seterusnya.
(8) Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari telah lewat RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak diselenggarakan, atau RUPS tidak dapat
mengambil keputusan, pemberhentian sementara tersebut menjadi batal.
(9) Bagi Perseroan Terbuka penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (8) berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal.
Pasal 107
Dalam anggaran dasar diatur ketentuan mengenai:
a. tata cara pengunduran diri anggota Direksi;
b. tata cara pengisian jabatan anggota Direksi yang lowong; dan
c. pihak yang berwenang menjalankan pengurusan dan mewakili Perseroan dalam
hal seluruh anggota Direksi berhalangan atau diberhentikan untuk sementara.
Bagian Kedua
Dewan Komisaris
Pasal 108
(1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya
pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha
Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.
(2) Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan.
(3) Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih.
(4) Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan
majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendirisendiri,
melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.
(5) Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau
mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan
utang kepada masyarakat atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling
sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris.
Pasal 109
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain
mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi
Majelis Ulama Indonesia.
(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan
Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.
Pasal 110
(1) Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris adalah orang
perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5
(lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:
a. dinyatakan pailit;
b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan
negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.
(2) Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi
kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan
tambahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan.
Pasal 111
(1) Anggota Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS.
(2) Untuk pertama kali pengangkatan anggota Dewan Komisaris dilakukan oleh
pendiri dalam akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
huruf b.
(3) Anggota Dewan Komisaris diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat
diangkat kembali.
(4) Anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan
pemberhentian anggota Dewan Komisaris serta dapat juga mengatur tentang
pencalonan anggota Dewan Komisaris.
(5) Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian
anggota Dewan Komisaris juga menetapkan saat mulai berlakunya
pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut.
(6) Dalam hal RUPS tidak menentukan saat mulai berlakunya pengangkatan,
penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris, pengangkatan,
penggantian, dan pemberhentian mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS.
(7) Dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota
Dewan Komisaris, Direksi wajib memberitahukan perubahan tersebut kepada
Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS tersebut.
(8) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum
dilakukan, Menteri menolak setiap pemberitahuan tentang perubahan susunan
Dewan Komisaris selanjutnya yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi.
Pasal 112
(1) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dan ayat (2) batal karena
hukum sejak saat anggota Dewan Komisaris lainnya atau Direksi mengetahui
tidak terpenuhinya persyaratan tersebut.
(2) Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui, Direksi
harus mengumumkan batalnya pengangkatan anggota Dewan Komisaris yang
bersangkutan dalam Surat Kabar dan memberitahukannya kepada Menteri
untuk dicatat dalam daftar Perseroan.
(3) Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dan atas nama Dewan Komisaris
sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab
Perseroan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengurangi tanggung
jawab anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan terhadap kerugian
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dan Pasal 115.
Pasal 113
Ketentuan tentang besarnya gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan
Komisaris ditetapkan oleh RUPS.
Pasal 114
(1) Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan Perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1)
(2) Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan
bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
(3) Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas
kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota Dewan Komisaris atau
lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara
tanggung renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris.
(5) Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan;
b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan
kerugian; dan
c. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
(6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu
persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat
menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya
menimbulkan kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri.
Pasal 115
(1) Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris
dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh
Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh
kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris
secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas
kewajiban yang belum dilunasi.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi
anggota Dewan Komisaris yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan.
(3) Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas
kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dapat
membuktikan:
a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan;
c. tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan
kepailitan; dan
d. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya
kepailitan.
Pasal 116
Dewan Komisaris wajib :
a. membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya;
b. melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau
keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain; dan
c. memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama
tahun buku yang baru lampau kepada RUPS.
Pasal 117
(1) Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Dewan
Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam
melakukan perbuatan hukum tertentu.
(2) Dalam hal anggaran dasar menetapkan persyaratan pemberian persetujuan atau
bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanpa persetujuan atau bantuan
Dewan Komisaris, perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak
lainnya dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik.
Pasal 118
(1) Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat
melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk
jangka waktu tertentu.
(2) Dewan Komisaris yang dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu
melakukan tindakan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap
Perseroan dan pihak ketiga.
Pasal 119
Ketentuan mengenai pemberhentian anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 105 mutatis mutandis berlaku bagi pemberhentian anggota Dewan Komisaris.
Pasal 120
(1) Anggaran dasar Perseroan dapat mengatur adanya 1 (satu) orang atau lebih
Komisaris Independen dan 1 (satu) orang Komisaris Utusan.
(2) Komisaris independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
berdasarkan keputusan RUPS dari pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang
saham utama, anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris lainnya.
(3) Komisaris utusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan anggota
Dewan Komisaris yang ditunjuk berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris.
(4) Tugas dan wewenang Komisaris utusan ditetapkan dalam anggaran dasar
Perseroan dengan ketentuan tidak bertentangan dengan tugas dan wewenang
Dewan Komisaris dan tidak mengurangi tugas pengurusan yang dilakukan
Direksi.
Pasal 121
(1) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
108, Dewan Komisaris dapat membentuk komite, yang anggotanya seorang atau
lebih adalah anggota Dewan Komisaris.
(2) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Dewan
Komisaris.
BAB VIII
PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN
Pasal 122
(1) Penggabungan dan Peleburan mengakibatkan Perseroan yang menggabungkan
atau meleburkan diri berakhir karena hukum.
(2) Berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi tanpa
dilakukan likuidasi terlebih dahulu.
(3) Dalam hal berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
a. aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri
beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan
atau Perseroan hasil Peleburan;
b. pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri
karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima
Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; dan
c. Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena
hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai
berlaku.
Pasal 123
(1) Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima Penggabungan
menyusun rancangan Penggabungan.
(2) Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan
melakukan Penggabungan;
b. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan
Penggabungan dan persyaratan Penggabungan;
c. tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan
diri terhadap saham Perseroan yang menerima Penggabungan;
d. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima
Penggabungan apabila ada;
e. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf
a yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Perseroan yang
akan melakukan Penggabungan;
f. rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan
yang akan melakukan Penggabungan;
g. neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
h. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan
Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan
Penggabungan diri;
i. cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan
menggabungkan diri terhadap pihak ketiga.
j. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap
Penggabungan Perseroan;
k. nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan
tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang
menerima Penggabungan;
l. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
m. laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari
setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
n. kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Penggabungan dan
perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan
o. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan
yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan
Penggabungan.
(3) Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah
mendapat persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan diajukan kepada
RUPS masing-masing untuk mendapat persetujuan.
(4) Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan selain berlaku
ketentuan dalam Undang-Undang ini, perlu mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) berlaku
juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pasal 124
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 mutatis mutandis berlaku bagi
Perseroan yang akan meleburkan diri.
Pasal 125
(1) Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah
dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan
atau langsung dari pemegang saham.
(2) Pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan.
(3) Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilalihan
saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan
tersebut.
(4) Dalam hal Pengambilalihan yang dilakukan oleh badan hukum berbentuk
Perseroan, Direksi sebelum melakukan perbuatan hukum pengambilalihan harus
berdasarkan keputusan RUPS yang memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan
tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89.
(5) Dalam hal Pengambilalihan dilakukan melalui Direksi, pihak yang akan
mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk melakukan Pengambilalihan
kepada Direksi Perseroan yang akan diambil alih.
(6) Direksi Perseroan yang akan diambil alih dan Perseroan yang akan mengambil
alih dengan persetujuan Dewan Komisaris masing-masing menyusun rancangan
Pengambilalihan yang memuat sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan mengambil alih
dan Perseroan yang akan diambil alih;
b. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan
Direksi Perseroan yang akan diambil alih;
c. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf
a untuk tahun buku terakhir dari Perseroan yang akan mengambil alih
dan Perseroan yang akan diambil alih;
d. tata cara penilaian dan konversi saham dari Perseroan yang akan diambil
alih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan
dilakukan dengan saham;
e. jumlah saham yang akan diambil alih;
f. kesiapan pendanaan;
g. neraca konsolidasi proforma Perseroan yang akan mengambil alih
setelah Pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum di Indonesia;
h. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap
Pengambilalihan;
i. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan
Komisaris, dan karyawan dari Perseroan yang akan diambil alih;
j. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengambilalihan, termasuk jangka
waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari pemegang saham
kepada Direksi Perseroan;
k. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan hasil Pengambilalihan
apabila ada.
(7) Dalam hal pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham,
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) tidak berlaku.
(8) Pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib
memperhatikan ketentuan anggaran dasar Perseroan yang diambil alih tentang
pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan
dengan pihak lain.
Pasal 126
(1) Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan
wajib memperhatikan kepentingan:
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
(2) Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya boleh menggunakan haknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62.
(3) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan
proses pelaksanaan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan.
Pasal 127
(1) Keputusan RUPS mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan sah apabila diambil sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat (1) dan
Pasal 89.
(2) Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan
paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar dan mengumumkan secara tertulis
kepada karyawan dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat juga
pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat memperoleh rancangan
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan di kantor
Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS
diselenggarakan.
(4) Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada Perseroan dalam jangka waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan,
atau Pemisahan sesuai dengan rancangan tersebut .
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kreditor tidak
mengajukan keberatan, kreditor dianggap menyetujui Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.
(6) Dalam hal keberatan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai
dengan tanggal diselenggarakan RUPS tidak dapat diselesaikan oleh Direksi,
keberatan tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat
penyelesaian.
(7) Selama penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum tercapai,
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan tidak dapat
dilaksanakan.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan
ayat (7) mutatis mutandis berlaku bagi pengumuman dalam rangka
Pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham dalam
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125.
Pasal 128
(1) Rancangan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan yang
telah disetujui RUPS dituangkan ke dalam akta Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, atau Pemisahan yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa
Indonesia.
(2) Akta pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham
wajib dinyatakan dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia
(3) Akta peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pembuatan
akta pendirian Perseroan hasil Peleburan.
Pasal 129
(1) Salinan akta Penggabungan Perseroan dilampirkan pada:
a. pengajuan permohonan untuk mendapatkan persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); atau
b. penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan
anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3).
(2) Dalam hal Penggabungan Perseroan tidak disertai perubahan anggaran dasar,
salinan akta Penggabungan harus disampaikan kepada Menteri untuk dicatat
dalam daftar Perseroan.
Pasal 130
Salinan akta Peleburan dilampirkan pada pengajuan permohonan untuk mendapatkan
Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan hasil Peleburan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4).
Pasal 131
(1) Salinan akta Pengambilalihan Perseroan wajib dilampirkan pada penyampaian
pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
(2) Dalam hal Pengambilalihan saham dilakukan secara langsung dari pemegang
saham, salinan akta pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada
penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan susunan
pemegang saham.
Pasal 132
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 berlaku juga bagi
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.
Pasal 133
(1) Direksi Perseroan yang menerima Penggabungan atau Direksi Perseroan hasil
Peleburan wajib mengumumkan hasil Penggabungan atau Peleburan dalam 1
(satu) Surat Kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal berlakunya Penggabungan atau Peleburan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap Direksi
dari Perseroan yang sahamnya diambil alih.
Pasal 134
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan
Perseroan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 135
(1) Pemisahan dapat dilakukan dengan cara:
a. Pemisahan murni; atau
b. Pemisahan tidak murni .
(2) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan
seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua)
Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang
melakukan pemisahan usaha tersebut berakhir karena hukum.
(3) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum
kepada 1 (satu) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan
Perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada.
Pasal 136
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 137
Dalam hal peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak mengatur lain,
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Bab VIII berlaku juga bagi Perseroan Terbuka.
BAB IX
PEMERIKSAAN TERHADAP PERSEROAN
Pasal 138
(1) Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:
a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan
pemegang saham atau pihak ketiga; atau
b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan
hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak
ketiga.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan
negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh :
a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara;
b. pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran
dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang
untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau
c. kejaksaan untuk kepentingan umum.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diajukan setelah
pemohon terlebih dahulu meminta data atau keterangan kepada Perseroan
dalam RUPS dan Perseroan tidak memberikan data atau keterangan tersebut.
(5) Permohonan untuk mendapatkan data atau keterangan tentang Perseroan atau
permohonan pemeriksaan untuk mendapatkan data atau keterangan tersebut
harus didasarkan atas alasan yang wajar dan itikad baik.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) huruf a, dan ayat (4)
tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal menentukan lain.
Pasal 139
(1) Ketua pengadilan negeri dapat menolak atau mengabulkan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138.
(2) Ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak
permohonan apabila permohonan tersebut tidak didasarkan atas alasan yang
wajar dan/atau tidak dilakukan dengan itikad baik.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan, ketua pengadilan negeri mengeluarkan
penetapan pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli untuk
melakukan pemeriksaan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau
keterangan yang diperlukan.
(4) Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan Perseroan,
konsultan, dan akuntan publik yang telah ditunjuk oleh Perseroan tidak dapat
diangkat sebagai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak memeriksa semua dokumen
dan kekayaan Perseroan yang dianggap perlu oleh ahli tersebut untuk diketahui.
(6) Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan semua karyawan
Perseroan wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan untuk
pelaksanaan pemeriksaan.
(7) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib merahasiakan hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan.
Pasal 140
(1) Laporan hasil pemeriksaan disampaikan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 kepada ketua pengadilan negeri dalam jangka waktu sebagaimana
ditentukan dalam penetapan pengadilan untuk pemeriksaan paling lambat 90
(sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal pengangkatan ahli tersebut.
(2) Ketua pengadilan negeri memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan kepada
pemohon dan Perseroan yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat
14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima.
Pasal 141
(1) Dalam hal permohonan untuk melakukan pemeriksaan dikabulkan, ketua
pengadilan negeri menentukan jumlah maksimum biaya pemeriksaan.
(2) Biaya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar oleh
Perseroan.
(3) Ketua pengadilan negeri atas permohonan Perseroan dapat membebankan
penggantian seluruh atau sebagian biaya pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada pemohon, anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan
Komisaris.
BAB X
PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN
BERAKHIRNYA STATUS BADAN HUKUM PERSEROAN
Pasal 142
(1) Pembubaran Perseroan terjadi:
a. berdasarkan keputusan RUPS;
b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar
telah berakhir;
c. berdasarkan penetapan pengadilan;
d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak
cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam
keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan
melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator;
dan
b. Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan
untuk membereskan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi.
(3) Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu
berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan
dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak
menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator.
(4) Dalam hal pembubaran Perseroan terjadi dengan dicabutnya kepailitan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pengadilan niaga sekaligus
memutuskan pemberhentian kurator dengan memperhatikan ketentuan dalam
Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
(5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilanggar,
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Perseroan bertanggung jawab
secara tanggung renteng.
(6) Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian,
wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi
mutatis mutandis berlaku bagi likuidator.
Pasal 143
(1) Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status
badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban
likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.
(2) Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata
“dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan.
Pasal 144
(1) Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang
mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh ) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada
RUPS.
(2) Keputusan RUPS tentang pembubaran Perseroan sah apabila diambil sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dan Pasal
89.
(3) Pembubaran Perseroan dimulai sejak saat yang ditetapkan dalam keputusan
RUPS.
Pasal 145
(1) Pembubaran Perseroan terjadi karena hukum apabila jangka waktu berdirinya
Perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir.
(2) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah jangka waktu
berdirinya Perseroan berakhir RUPS menetapkan penunjukan likuidator.
(3) Direksi tidak boleh melakukan perbuatan hukum baru atas nama Perseroan
setelah jangka waktu berdirinya Perseroan yang ditetapkan dalam anggaran
dasar berakhir.
Pasal 146
(1) Pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan atas:
a. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar
kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang
melanggar peraturan perundang-undangan;
b. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya
cacat hukum dalam akta pendirian;
c. permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris
berdasarkan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan.
(2) Dalam penetapan pengadilan ditetapkan juga penunjukan likuidator.
Pasal 147
(1) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan:
a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara
mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita
Negara Republik Indonesia; dan
b. pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar
Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi.
(2) Pemberitahuan kepada kreditor dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat :
a. pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya;
b. nama dan alamat likuidator;
c. tata cara pengajuan tagihan; dan
d. jangka waktu pengajuan tagihan.
(3) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemberitahuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
wajib dilengkapi dengan bukti:
a. dasar hukum pembubaran Perseroan; dan
b. pemberitahuan kepada kreditor dalam Surat Kabar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
Pasal 148
(1) Dalam hal pemberitahuan kepada kreditor dan Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 147 belum dilakukan, pembubaran Perseroan tidak berlaku bagi
pihak ketiga.
(2) Dalam hal likuidator lalai melakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), likuidator secara tanggung renteng dengan Perseroan
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga.
Pasal 149
(1) Kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan
dalam proses likuidasi meliputi pelaksanaan:
a. pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan;
b. pengumuman dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia
mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;
c. pembayaran kepada para kreditor;
d. pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan
e. tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan
kekayaan.
(2) Dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang Perseroan lebih besar
daripada kekayaan Perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan pailit
Perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain, dan semua
kreditor yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui pemberesan
dilakukan di luar kepailitan.
(3) Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil
likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari terhitung sejak
tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Dalam hal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak
oleh likuidator, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam
jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
penolakan.
Pasal 150
(1) Kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 147 ayat (3), dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60
(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan.
(2) Kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui
pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran
Perseroan diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1).
(3) Tagihan yang diajukan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan dalam hal terdapat sisa kekayaan hasil likuidasi yang diperuntukkan
bagi pemegang saham.
(4) Dalam hal sisa kekayaan hasil likuidasi telah dibagikan kepada pemegang
saham dan terdapat tagihan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pengadilan negeri memerintahkan likuidator untuk menarik kembali sisa
kekayaan hasil likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham.
(5) Pemegang saham wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) secara proporsional dengan jumlah yang
diterima terhadap jumlah tagihan.
Pasal 151
(1) Dalam hal likuidator tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 149, atas permohonan pihak yang berkepentingan atau
atas permohonan kejaksaan, ketua pengadilan negeri dapat mengangkat
likuidator baru dan memberhentikan likuidator lama.
(2) Pemberhentian likuidator sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
setelah yang bersangkutan dipanggil untuk didengar keterangannya.
Pasal 152
(1) Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang
mengangkatnya atas likuidasi Perseroan yang dilakukan.
(2) Kurator bertanggung jawab kepada hakim pengawas atas likuidasi Perseroan
yang dilakukan.
(3) Likuidator wajib memberitahukan kepada Menteri dan mengumumkan hasil akhir
proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan
pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima
pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku juga bagi kurator yang
pertanggungjawabannya telah diterima oleh hakim pengawas.
(5) Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus
nama Perseroan dari daftar Perseroan, setelah ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dipenuhi.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku juga bagi berakhirnya
status badan hukum Perseroan karena Penggabungan, Peleburan, atau
Pemisahan.
(7) Pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal pertanggungjawaban likuidator atau kurator diterima oleh
RUPS, pengadilan atau hakim pengawas.
(8) Menteri mengumumkan berakhirnya status badan hukum Perseroan dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
BAB XI
B I A Y A
Pasal 153
Ketentuan mengenai biaya untuk:
a. memperoleh persetujuan pemakaian nama Perseroan;
b. memperoleh keputusan pengesahan badan hukum Perseroan;
c. memperoleh keputusan persetujuan perubahan anggaran dasar;
d. memperoleh informasi tentang data Perseroan dalam daftar Perseroan;
e. pengumuman yang diwajibkan dalam Undang-Undang ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; dan
f. memperoleh salinan Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum
Perseroan atau persetujuan perubahan anggaran dasar Perseroan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 154
(1) Bagi Perseroan Terbuka berlaku ketentuan Undang-Undang ini jika tidak diatur
lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(2) Peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang mengecualikan
ketentuan Undang-Undang ini tidak boleh bertentangan dengan asas hukum
Perseroan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 155
Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan
dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak mengurangi ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Pidana.
Pasal 156
(1) Dalam rangka pelaksanaan dan perkembangan Undang-Undang ini dibentuk tim
ahli pemantauan hukum Perseroan.
(2) Keanggotaan tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur:
a. pemerintah;
b. pakar/akademisi;
c. profesi; dan
d. dunia usaha.
(3) Tim ahli berwenang mengkaji akta pendirian dan perubahan anggaran dasar
yang diperoleh atas inisiatif sendiri dari tim atau atas permintaan pihak yang
berkepentingan, serta memberikan pendapat atas hasil kajian tersebut kepada
Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja
tim ahli diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 157
(1) Anggaran dasar dari Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum dan
perubahan anggaran dasar yang telah disetujui atau dilaporkan kepada Menteri
dan didaftarkan dalam daftar perusahaan sebelum Undang-Undang ini berlaku
tetap berlaku jika tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
(2) Anggaran dasar dari Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum
atau anggaran dasar yang perubahannya belum disetujui atau dilaporkan kepada
Menteri pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, wajib disesuaikan dengan
Undang-Undang ini.
(3) Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum berdasarkan peraturan
perundang-undangan, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya
Undang-Undang ini wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan
Undang-Undang ini.
(4) Perseroan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibubarkan berdasarkan putusan
pengadilan negeri atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Pasal 158
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 159
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 160
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor
13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 161
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 106.